TAFSIR BIL
MA’TSUR
Makalah
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata
Kuliah
Manahij al- Mufassirin
Dosen Pengampu:
Agus Salim, Lc.,M.Th.I
Oleh:
Attaq Wayandi NIM : 2017.01.01.918
Imam Zarqoni Zain NIM : 2017.01.01.921
FAKULTAS USHULUDDIN
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR'AN DAN TAFSIR
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL
ANWAR
SARANG REMBANG
TAHUN
AJARAN 2018/2019
PENDAHULUAN
Al-Qur’an diturunkan oleh Allah SWT
adalah untuk menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Bahkan al-Qur’an
juga semestinya menjadi petunjuk bagi seluruh manusia, baik ia muslim atau
tidak. Selain sebagai petujuk, al-Qur’an juga menjadi penjelas bagi petunjuk
dan pembeda antara yang haq dan yang bathil, yang salah dan yang
benar. Berkedudukan sebagai petunjuk hidup, maka al-Qur’an harus dipahami
oleh umat manusia, khususnya umat Islam. Untuk itulah dibutuhkan perangkat yang
namanya ilmu tafsir. Ilmu tafsir itulah yang bisa dipakai untuk
menguraikan maksud yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an.
Dari hal itulah timbul berbagai macam cara dalam
menafsirkan al-Qur’an yang berbeda beda dari dahulu hingga sekarang.
Oleh karena itu, dalam hal ini kami ingin sedikit
menjelaskan sebagian tantang tafsir bil ma’tsur, semoga apa yang kami jelaskan
ini dapat menambah ilmu bagi kita dan dapat bermanfaat untuk kedepannya.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tafsir bil Ma’tsur
Tafsir
bil ma’tsur adalah metode penafsiran dengan cara
mengutip, atau mengambil rujukan pada Al–qur’an, hadist Nabi, kutipan sahabat serta
tabi’in[1]. Metode ini meng-haruskan
mufasir menelusuri shahih tidaknya riwayat yang digunakannya.
B. Sejarah
serta perkembangan tafsir bil ma’tsur
Tafsir bil ma’tsur telah ada sejak zaman sahabat. Pada
zaman ini tafsir bil ma’tsur dilakukan dengan cara menukil penafsiran dari
Rasulullah SAW, atau dari sahabat oleh sahabat, serta dari sahabat oleh tabi’in
dengan tata cara yang jelas periwayatannya, cara seperti ini biasanya dilakukan
secara lisan. Setelah itu ada periode dimana penukilannya menggunakan penukilan
pada zaman sahabat yang telah dibukukan dan dikodifikasikan, pada awalnya
kodifikasi ini dimasukkan dalam kitab- kitab hadits, namun setelah tafsir
menjadi disiplin ilmu tersendiri, maka ditulis dan terbitlah buku–buku yang
memuat khusus tafsir bil ma’tsur lengkap dengan jalur sanad kepada nabi
muhammad Saw, para sahabat, tabi’in al tabi’in.[2]
Semua kitab tafsir ini biasanya memuat hanya tentang tafsir bil ma’tsur
kecuali kitab yang dikarang ibn Jarir yang menyertakan pendapat dan
menganalisannya serta mengambil istinbath yang mungkin ditarik dari ayat
al-qur’an. Pada perkembangan selanjutnya, ada banyak tokoh yang
mengkodifikasikan tafsir bil ma’tsur tanpa mengemukakan periwayatan sanadnya
dan hanya mengemukakan pendapat – pendapatnya sendiri serta tidak membedakan
periwayatn yang shahih atau tidak. Karena adanya kecurigaan pemalsuan,
muncullah studi – studi kritis yang berhasil menemukan dan menyingkap sebagian
riwayat palsu sehingga para mufasir dapat berhati –hati. Hal ini kita temukan
ketika menafsirkan Al-Quran pada ayat yang mujmal ditafsirkan
oleh ayat lain yang mufasshal, ayat
Al-Quran yang mutlaq dengan ayat Al-Quran
yang muqayyad.[3]
C.
Tafsir bi al-al’tsur terdiri dari :
1. Penafsiran ayat dengan ayat
al-Qur’an yang lain seperti penafsiran kata ath-Thariq( الطارق ) pada ayat pertama dari
surah at-thariq dengan an-najm tsaqib (النجم الثاقب)/bintang yang cahayanya menembus (kegelapan) (
QS. Al-Thariq [86]:
1-3). Demekian juga firman-Nya dalam QS. Al-fatihah [1]: 7 ;
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ
عَلَيْهِمْ
“ Jalan orang orang yang engkau
anugrahi nikmat”
Yang ditafsirkan
dengan firman nya dalam QS. An-Nisa’ [4]: 69
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ
أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ
وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
“Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul (Nya),
mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh
Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan
orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”
2. Penafsiran ayat dengan keterangan Rasul saw.
Misalnya, QS. Al-an’am [6]: 82;
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ
أُولَئِكَ لَهُمُ الأمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
‘’ orang-orang yang beriman
dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kedaliman , mereka itulah
orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”
Rasul saw. Menafsirkan bahwa kata zhulum (ظلمن) /penganiayaan di
sini adalah kemusyrikan, sejalan dengan firman Allah:
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
”sesungguhnya syirik/
persekutuan terhadap Allah adalah kedholiman besar (QS. Lukman [31]: 13.
Demikian juga penafsiran Rasul saw. Tentang arti quwah (قوة) pada firmanya dalam QS. Al-anfal [8]: 60;
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ
“siapkanlah
untuk menghadapi mereka (musuh), apa yang mampu kamu siapkan dari kekuatan “
Beliau menafsirkanya dengan “memanah” (HR. Muslim)
3. Penafsiran ayat dengan keterangan shabat-shahabat Nabi
saw. Misalnya, pemahaman sahabat Nabi , Sayyidina Umar atau Ibn Abbas ra. Tentang
makna surah an-Nashr, bahwa surah itu adalah isyarat tentang telah mendekatnya
ajal Nabi saw.
Ada juga ulama yang menambahkan dalam kelompok Tafsir bi al-Ma’tsur penafsiran para
tabi’ien, yakni generasi sesudah sahabat-sahabat Nabi saw.
Para
ulama menyatakan bahwa peringkat Tafsir yang tertinggi adalah Tafsir ayat dengan ayat, disusul
dengan Tafsir Rasul, lalu pada peringkat ketiga adalah tafsir sahabat Nabi SAW.[4]
Ada
beberapa cacatan yang menyangkut uraian di atas, yang sering kali terlupakan
untuk di dudukkan, yaitu :
·
Penafsiran ayat dengan ayat yang di maksud menduduki peringkat pertama itu
adalah yang memang dapat diduga keras bahwa ayat tersebutlah yang menafsirkan
berdasar indicator yang kuat. Ini perlu di dudukkan karena sekian banyak
penafsiran yang di anggap penafsiran ayat dengan ayat yang ternyata ia adalah
penafsiran ulama melalui pengamatan sang penafsir terhadap ayat tersebut dengan
membandingkannya dengan ayat lain.
Sebagai contoh firman Allah.
مَا
فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ
“ kami tidak mengalpakan sesuatu pun di dalam al
kitab (QS. Al-An’am [6]: 38)
·
Walaupun semua ulama mengakui bahwa Rasul saw. Yang paling berwenang
menafsirkan al-qur’an berdasar penugasan Allah kepada beliau (a.l QS an-Nahl 16
: 44) dan sepakat pula menyatakan bahwa penafsiran beliau pasti benar, namun
perlu di garis bawahi bahwa penafsiran/ penjelasan Nabi saw. Itu bermacam-macam
bentu, sifat, dan hokum yang di tarik darinya serta motivasi penyampainya
sebagaimana akan di singgung nanti.
·
Ulama berbeda pendapat tentang kadar penafsiran Rasul saw. Terhadap al-Qur’an. Apakah beliau
telah menjelaskan semuanya, atau sebagian besar, atau sebagian kecil? Banyak
ulama berpendapat bahwa Rasul saw. Telah menjelaskan semua yang di butuhkan
penjelasannya oleh sahabat-sahabat beliau, namun bukan semua ayat, karena telah
pasti ada ayat yang sudah jelas maknanya buat mereka, walau bisa jadi setelah
beliau wafat baru muncul persoalan baru yang membutuhkan penjelasan, seperti
yang tersiat dari ucapan Sayyidina Umar ra. Yang menyatakan “aku tadinya mengharap kiranya Nabi
menjelaskan kepada kami soal riba sebelulm beliau wafat”.
·
Penafsiran sahabat juga bermacam-macam. Apabila mereka menyampaikan penafsiran
ayat menyangkut hal-hal yang berada di luar kemampuan akal untuk menjangkaunya,
misalnya tentang kiamat, surga, dan neraka, maka bila rentetan sanadnya dapat
diterima, maka tafsir sahabat itu di nilai sebagai bersumber dari rasul saw. [5]
D. Para Ahli Tafsir Bi Al-Ma’tsur
1.
Tafsir Ibnu Jarir
Pengarangnya adalah Ibnu Jarir Ath Thabary yang panggilannya Abu Ja’far. Ia
dilahirkan pada tahun 224 H, dan meninggal dunia pada tahun 310 H. Kitabnya
termasuk kitab tafsir dengan ma’tsur yang paling agung, paling benar dan paling
banyak mencakup pendapat sahabat dan tabi’in serta dianggap sebagai pedoman
pertama bagi para mussafir. Imam Nawawy mengatakan: “ kitab Ibnu Jarir tentang
tafsir belum ada seorang pengarangpun yang menyamainya.”
Beberapa keistimewaan tafsir ini adalah:
a.
Berpegang pada atsar berupa hadits
(ucapan Nabi saw) sahabat dan Tabi’in.
b.
Senantiasa menyebutkan sanad dan pendapat yang diriwayatkan
serta memberi pentarjihan dari riwayat yang dikemukakannya.
c.
Memaparkan ayat-ayat yang nasikh dan
mansukh serta menjelaskan tentang riwayat yang shahih dan riwayat yang dha’if.
d.
Menyebutkan segi I’rab (uraian kalimat)
dan pengistimbathan hokum syari’at dari ayat-ayat Al-Qur’an. Kesimpulannya,
kitab ini adalah kitab yang paling agung dan penuh dengan keindahan, tapi
sayangnya kitab ini serring mengemukakan khabar dengan sanad yang tidak benar
dengan tidak menjelaskan ketidak benarannya itu. Contohnya adalah kitab ini
sering memuat cerita yang bersifat israilliat. Tafsirnya telah diterbitkan dan
tersebar luas diseluruh penjuru dunia, lagi pula dijadikan pedoman pokok
dikalangan musafir.
2.
Tafsir As Samarqandy
Pengarangnya adalah Nashr Ibnu Muhammad
As Samarqandy yang panggilannya adalah Abu Al Laits. Ia meninggal dunia pada
tahun 373 H. Kitabnya dinamakan dengan Bahrul Ulum. Tafsir ini adalah tafsir
ma’tsur. Didalamnya banyak memuat pendapat para sahabat dan tabi’in, sayangnya
beliau tidak menyebutkan sanad-sanadnya. Kitab ini terdiri dari dua jilid dan
salah satu dari naskah-naskahnya masih ada di perpustakaan Al-Azhar.
3.
Tafsir Ats Tsa’laby
Pengarang tafsir ini adalah Ahmad Ibnu Ibrahim Ats Tsa’laby An Naisabury.
Ia adalah seorang musafir yang ahli membaca Al-Qur’an. Panggilannya adalah Abu
Ishak. Ia meninggal dunia pada tahun 427 H, Kelahirannya secara pasti tidak
diketahui. Kitabnya dinamakan Al-Kasyfru wal Bayan fi Tafsilih Qur’an. Ia
menafsirkan kitabullah Al-Qur’an berdasarkan hadits yang bersumber dari ulama
salaf dengan meringkaskan sanadnya. Karena menganggap cukup menyebutkannya pada
pendahuluan kitab. Ia sedikit memperluas pembahasan nahwu dan fiqih. Ia sangat
senang dengan kisah-kisah dan cerita-cerita isralliyat yang dianggap asing
bahkan sama sekali tidak benar adanya.
Ibnu Taimiyah mengatakan: “Ats Tsa’laby pada pribadinya tertanam kebaikan
dan agama, tetapi ia bagaikan pencari kayu di malam hari. “surat Al-Furqan.
4.
Tafsir Al-Baghawy
Pengarang tafsir ini adalah Al-Musain Ibnu Mas’ud Al-Farra’ Al-Baghawy,
seorang ahli fiqih, mussafir dan ilmu hadits, yang dikenal dengan penghidup
sunnah. Panggilannya adalah Abu Muhammad. Beliau meninggal dunia pada tahun 510
H pada usia 80 tahun. Ia sebagai seorang alim dan taat. Imam As-Sudhy
menganggap bahwa ia adalah termasuk ulama Syafi’iyah yang alim.
Tafsir ini telah di cetak bersamaan dengan tafsir Ibnu Katsir dan tafsir
Al-Khazin. Dalam kitabnya ada sebagian kisah-kisah Isroilliyat, tetapi secara
umum adalah lebih baik dan lebih murni dari pada kebanyakan kitab-kitab tafsir
dengan ma’tsur.
5.
Tafsir Ibnu ‘Athiyah
Pengarang tafsir ini adalah Abdul Haq Ibnu ‘Athiyah Al-Andalusy Al Mafhriby
Al-Qarnathy. Panggilannya adalah Abu Muhammad. Beliau dilahirkan pada tahun 481
H dan meninggal dunia tahun 546 H.
6.
Murrah Al-Hamadzany
Nama lengkapnya adalah Murrah bin Syarahil Al-Hamadzany dengan nama
panggilan Abu Ismail, ia dijuluki dengan nama Murrah Ath Thayyib dan Murrah
Al-Khaer.
7.
Tafsir Ibnu Katsir
Pengarang tafsir ini adalah Al-Hafizh Imaduddin Ismail bin Amr ibnu Katsir
Al-Quraisyi Ad Dimasqy. Nama panggilannya adalah Abul Firda. Tafsir ini
termasuk tafsir ma’tsur yang ia kutip dari pendapat ulama salaf, dengan
membedakan pendapat yang shahih dan yang dha’if.
8.
Tafsir As Suyuthy
Pengarang tafsir ini
adalah Al-Imam Al Hajjaj Ats Tsiqah Jalaluddin As Suyuthy, pengarang beberapa
kitab yang terkenal.[6]
E.
Diantara kitab tafsir yang memuat tentang tafsir bil
ma’tsur yakni :
a.
Tafsir Jami’ul Bayan
( Ibnu Jarir Ath Thabary)
b.
Tafsir Al Bustan (Abul
Laits as Samarqandy)
c.
Tafsir Baqy Makhlad
d.
Tafsir Ma’limut Tanzil (Al
Baghawy)
e.
Tafsir Al– Qur- anul
‘Adhim ( Al Hafidh ibnu Katsir)
f.
Tafsir Asbabun Nuzul
(Alwahidy)
g.
Tafsir An Naskh wal
mansukh (Abu Ja’far An Nahas)
h.
Tafsir Ad Durrul Mantsur
fit Tafsir bil Ma’tsur (As Suyuthy)
i.
Al jawahir al – Hassan fi
tafsir al-qur’an (Abdurrahman Atsa’libi)
KESIMPULAN
Dari berbagal ulasan, komentar, analisis baik dari banyak ahli maupun dari
nash sendiri dapat diberi kesimpulan bahwa tafsir bil ma’tsur pada hakekatnya
merupakan tafsir Alquran dengan Alquran sendiri, atau dengan Sunah Nabi, atau
dengan perkataan sahabat, atau dengan tabi’in. Contoh-contoh penerapannya
banyak terdapat dalam kitab-kitab tafsir terutama yang memaki metode tafsir bil
ma’tsur. Nilai dan keandalan tafsir ini haruslah diterima oleh si mufassir
terutama tafsir Alquran dengan Alquran dan tafsir Alquran dengan Sunah. Ma’tsur
dari Nabi, atau sahabat, atau tabi’in haruslah diteliti dan dicermati secara
ketat agar si mufassir terhindar dari riwayat-riwayat yang kurang kuat atau
israiliyat dalam menafsirkan Alquran.
DAFTAR
PUSTAKA
Ash-Shiddieqy Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu
Al-Quran /Tafsir.(Jakarta:Bulan Bintang, 1980).
Al-‘Aridi Ali
Hasan, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj.Ahmad Akrom
(Jakarta: PT. Raja Grafindo persada, 1994
Shihab, M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang, Lentera hati
2013)
Dra. H. St. Amanah, Pengantar
Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir,( Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1993), cet. 1
[1] Hasbi
Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran /Tafsir.(Jakarta:Bulan
Bintang, 1980). 227
[3] Ali Hasan
Al-‘Aridi, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj.Ahmad Akrom
(Jakarta: PT. Raja Grafindo persada, 1994). 42
[6] Dra. H. St. Amanah, Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan
Tafsir,( Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1993), cet. 1, h. 348-353
No comments:
Post a Comment