Monday, February 18, 2019

Tafsir bi Al-Ma'tsur Fakultas Tafsir Qur'an



TAFSIR BIL MA’TSUR
                                                                       Makalah                                
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Manahij al- Mufassirin
Dosen Pengampu:
Agus Salim, Lc.,M.Th.I


Oleh:
Attaq Wayandi                      NIM : 2017.01.01.918
Imam Zarqoni Zain               NIM : 2017.01.01.921

FAKULTAS USHULUDDIN
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR'AN DAN TAFSIR
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL ANWAR
SARANG REMBANG
TAHUN AJARAN 2018/2019





PENDAHULUAN

Al-Qur’an diturunkan oleh Allah SWT adalah untuk menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Bahkan al-Qur’an juga semestinya menjadi petunjuk bagi seluruh manusia, baik ia muslim atau tidak. Selain sebagai petujuk, al-Qur’an juga menjadi penjelas bagi petunjuk dan pembeda antara yang haq dan yang bathil, yang salah dan yang benar. Berkedudukan sebagai petunjuk hidup, maka al-Qur’an harus dipahami oleh umat manusia, khususnya umat Islam. Untuk itulah dibutuhkan perangkat yang namanya ilmu tafsir. Ilmu tafsir itulah yang bisa dipakai untuk menguraikan maksud yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an.
Dari hal itulah timbul berbagai macam cara dalam menafsirkan al-Qur’an yang berbeda beda dari dahulu hingga sekarang.
Oleh karena itu, dalam hal ini kami ingin sedikit menjelaskan sebagian tantang tafsir bil ma’tsur, semoga apa yang kami jelaskan ini dapat menambah ilmu bagi kita dan dapat bermanfaat untuk kedepannya.



















PEMBAHASAN

A.    Pengertian Tafsir bil Ma’tsur
Tafsir bil ma’tsur adalah metode penafsiran dengan cara mengutip, atau mengambil rujukan pada Al–qur’an, hadist Nabi, kutipan sahabat serta tabi’in[1]. Metode ini meng-haruskan mufasir menelusuri shahih tidaknya riwayat yang digunakannya.

B.     Sejarah serta perkembangan tafsir bil ma’tsur
            Tafsir bil ma’tsur telah ada sejak zaman sahabat. Pada zaman ini tafsir bil ma’tsur dilakukan dengan cara menukil penafsiran dari Rasulullah SAW, atau dari sahabat oleh sahabat, serta dari sahabat oleh tabi’in dengan tata cara yang jelas periwayatannya, cara seperti ini biasanya dilakukan secara lisan. Setelah itu ada periode dimana penukilannya menggunakan penukilan pada zaman sahabat yang telah dibukukan dan dikodifikasikan, pada awalnya kodifikasi ini dimasukkan dalam kitab- kitab hadits, namun setelah tafsir menjadi disiplin ilmu tersendiri, maka ditulis dan terbitlah buku–buku yang memuat khusus tafsir bil ma’tsur lengkap dengan jalur sanad kepada nabi muhammad Saw, para sahabat, tabi’in al tabi’in.[2]
Semua kitab tafsir ini biasanya memuat hanya tentang tafsir bil ma’tsur kecuali kitab yang dikarang ibn Jarir yang menyertakan pendapat dan menganalisannya serta mengambil istinbath yang mungkin ditarik dari ayat al-qur’an. Pada perkembangan selanjutnya, ada banyak tokoh yang mengkodifikasikan tafsir bil ma’tsur tanpa mengemukakan periwayatan sanadnya dan hanya mengemukakan pendapat – pendapatnya sendiri serta tidak membedakan periwayatn yang shahih atau tidak. Karena adanya kecurigaan pemalsuan, muncullah studi – studi kritis yang berhasil menemukan dan menyingkap sebagian riwayat palsu sehingga para mufasir dapat berhati –hati. Hal ini kita temukan ketika menafsirkan Al-Quran pada ayat yang mujmal ditafsirkan oleh ayat lain yang mufasshal, ayat Al-Quran yang mutlaq dengan ayat Al-Quran yang muqayyad.[3]




C.    Tafsir bi al-al’tsur terdiri dari :
1.      Penafsiran ayat dengan  ayat al-Qur’an yang lain seperti penafsiran kata ath-Thariq( الطارق )  pada ayat pertama dari surah at-thariq dengan an-najm tsaqib  (النجم الثاقب)/bintang yang cahayanya menembus (kegelapan) ( QS. Al-Thariq [86]: 1-3). Demekian juga firman-Nya dalam QS. Al-fatihah [1]: 7 ;
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
            Jalan  orang orang yang engkau anugrahi nikmat”
            Yang ditafsirkan dengan firman nya dalam QS. An-Nisa’ [4]: 69
        وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.
2.      Penafsiran ayat dengan keterangan Rasul saw.
Misalnya, QS. Al-an’am [6]: 82;
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الأمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
‘’ orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kedaliman , mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah  orang-orang yang mendapat petunjuk”
Rasul saw. Menafsirkan bahwa kata zhulum (ظلمن) /penganiayaan di sini adalah kemusyrikan, sejalan dengan firman Allah:
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
”sesungguhnya syirik/ persekutuan terhadap Allah adalah kedholiman besar  (QS. Lukman [31]: 13.
Demikian juga penafsiran Rasul saw. Tentang arti quwah (قوة)  pada firmanya dalam QS. Al-anfal [8]: 60;
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ
siapkanlah untuk menghadapi mereka (musuh), apa yang mampu kamu siapkan dari kekuatan “
Beliau menafsirkanya dengan “memanah” (HR. Muslim)
3.      Penafsiran ayat dengan keterangan shabat-shahabat Nabi saw. Misalnya, pemahaman sahabat Nabi , Sayyidina Umar atau Ibn Abbas ra. Tentang makna surah an-Nashr, bahwa surah itu adalah isyarat tentang telah mendekatnya ajal Nabi saw.
Ada juga ulama yang menambahkan dalam kelompok Tafsir bi al-Ma’tsur penafsiran para tabi’ien, yakni generasi sesudah sahabat-sahabat Nabi saw.
            Para ulama menyatakan bahwa peringkat Tafsir yang tertinggi  adalah Tafsir ayat dengan ayat, disusul dengan Tafsir Rasul, lalu pada peringkat ketiga adalah tafsir sahabat Nabi SAW.[4]
            Ada beberapa cacatan yang menyangkut uraian di atas, yang sering kali terlupakan untuk di dudukkan, yaitu :
·         Penafsiran ayat dengan ayat yang di maksud menduduki peringkat pertama itu adalah yang memang dapat diduga keras bahwa ayat tersebutlah yang menafsirkan berdasar indicator yang kuat. Ini perlu di dudukkan karena sekian banyak penafsiran yang di anggap penafsiran ayat dengan ayat yang ternyata ia adalah penafsiran ulama melalui pengamatan sang penafsir terhadap ayat tersebut dengan membandingkannya  dengan ayat lain.


Sebagai contoh firman Allah.
مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ
 kami tidak mengalpakan sesuatu pun di dalam al kitab  (QS. Al-An’am [6]: 38)

·         Walaupun semua ulama mengakui bahwa Rasul saw. Yang paling berwenang menafsirkan al-qur’an berdasar penugasan Allah kepada beliau (a.l QS an-Nahl 16 : 44) dan sepakat pula menyatakan bahwa penafsiran beliau pasti benar, namun perlu di garis bawahi bahwa penafsiran/ penjelasan Nabi saw. Itu bermacam-macam bentu, sifat, dan hokum yang di tarik darinya serta motivasi penyampainya sebagaimana akan di singgung nanti.
·         Ulama berbeda pendapat tentang kadar penafsiran  Rasul saw. Terhadap al-Qur’an. Apakah beliau telah menjelaskan semuanya, atau sebagian besar, atau sebagian kecil? Banyak ulama berpendapat bahwa Rasul saw. Telah menjelaskan semua yang di butuhkan penjelasannya oleh sahabat-sahabat beliau, namun bukan semua ayat, karena telah pasti ada ayat yang sudah jelas maknanya buat mereka, walau bisa jadi setelah beliau wafat baru muncul persoalan baru yang membutuhkan penjelasan, seperti yang tersiat dari ucapan Sayyidina Umar ra. Yang menyatakan “aku tadinya mengharap kiranya Nabi menjelaskan kepada kami soal riba sebelulm beliau wafat”.
·         Penafsiran sahabat juga bermacam-macam. Apabila mereka menyampaikan penafsiran ayat menyangkut hal-hal yang berada di luar kemampuan akal untuk menjangkaunya, misalnya tentang kiamat, surga, dan neraka, maka bila rentetan sanadnya dapat diterima, maka tafsir sahabat itu di nilai sebagai bersumber dari rasul saw. [5]

D.    Para Ahli Tafsir Bi Al-Ma’tsur
1.      Tafsir Ibnu Jarir
Pengarangnya adalah Ibnu Jarir Ath Thabary yang panggilannya Abu Ja’far. Ia dilahirkan pada tahun 224 H, dan meninggal dunia pada tahun 310 H. Kitabnya termasuk kitab tafsir dengan ma’tsur yang paling agung, paling benar dan paling banyak mencakup pendapat sahabat dan tabi’in serta dianggap sebagai pedoman pertama bagi para mussafir. Imam Nawawy mengatakan: “ kitab Ibnu Jarir tentang tafsir belum ada seorang pengarangpun yang menyamainya.”
   Beberapa keistimewaan tafsir ini adalah:
a.       Berpegang pada atsar berupa hadits (ucapan Nabi saw) sahabat dan Tabi’in.
b.      Senantiasa menyebutkan sanad dan pendapat yang diriwayatkan serta memberi pentarjihan dari riwayat yang dikemukakannya.
c.       Memaparkan ayat-ayat yang nasikh dan mansukh serta menjelaskan tentang riwayat yang shahih dan riwayat yang dha’if.
d.      Menyebutkan segi I’rab (uraian kalimat) dan pengistimbathan hokum syari’at dari ayat-ayat Al-Qur’an. Kesimpulannya, kitab ini adalah kitab yang paling agung dan penuh dengan keindahan, tapi sayangnya kitab ini serring mengemukakan khabar dengan sanad yang tidak benar dengan tidak menjelaskan ketidak benarannya itu. Contohnya adalah kitab ini sering memuat cerita yang bersifat israilliat. Tafsirnya telah diterbitkan dan tersebar luas diseluruh penjuru dunia, lagi pula dijadikan pedoman pokok dikalangan musafir.
2.      Tafsir As Samarqandy
Pengarangnya adalah Nashr Ibnu Muhammad As Samarqandy yang panggilannya adalah Abu Al Laits. Ia meninggal dunia pada tahun 373 H. Kitabnya dinamakan dengan Bahrul Ulum. Tafsir ini adalah tafsir ma’tsur. Didalamnya banyak memuat pendapat para sahabat dan tabi’in, sayangnya beliau tidak menyebutkan sanad-sanadnya. Kitab ini terdiri dari dua jilid dan salah satu dari naskah-naskahnya masih ada di perpustakaan Al-Azhar.
3.      Tafsir Ats Tsa’laby
Pengarang tafsir ini adalah Ahmad Ibnu Ibrahim Ats Tsa’laby An Naisabury. Ia adalah seorang musafir yang ahli membaca Al-Qur’an. Panggilannya adalah Abu Ishak. Ia meninggal dunia pada tahun 427 H, Kelahirannya secara pasti tidak diketahui. Kitabnya dinamakan Al-Kasyfru wal Bayan fi Tafsilih Qur’an. Ia menafsirkan kitabullah Al-Qur’an berdasarkan hadits yang bersumber dari ulama salaf dengan meringkaskan sanadnya. Karena menganggap cukup menyebutkannya pada pendahuluan kitab. Ia sedikit memperluas pembahasan nahwu dan fiqih. Ia sangat senang dengan kisah-kisah dan cerita-cerita isralliyat yang dianggap asing bahkan sama sekali tidak benar adanya.
Ibnu Taimiyah mengatakan: “Ats Tsa’laby pada pribadinya tertanam kebaikan dan agama, tetapi ia bagaikan pencari kayu di malam hari. “surat Al-Furqan.

4.      Tafsir Al-Baghawy
Pengarang tafsir ini adalah Al-Musain Ibnu Mas’ud Al-Farra’ Al-Baghawy, seorang ahli fiqih, mussafir dan ilmu hadits, yang dikenal dengan penghidup sunnah. Panggilannya adalah Abu Muhammad. Beliau meninggal dunia pada tahun 510 H pada usia 80 tahun. Ia sebagai seorang alim dan taat. Imam As-Sudhy menganggap bahwa ia adalah termasuk ulama Syafi’iyah yang alim.
Tafsir ini telah di cetak bersamaan dengan tafsir Ibnu Katsir dan tafsir Al-Khazin. Dalam kitabnya ada sebagian kisah-kisah Isroilliyat, tetapi secara umum adalah lebih baik dan lebih murni dari pada kebanyakan kitab-kitab tafsir dengan ma’tsur.
5.      Tafsir Ibnu ‘Athiyah
Pengarang tafsir ini adalah Abdul Haq Ibnu ‘Athiyah Al-Andalusy Al Mafhriby Al-Qarnathy. Panggilannya adalah Abu Muhammad. Beliau dilahirkan pada tahun 481 H dan meninggal dunia tahun 546 H.
6.       Murrah Al-Hamadzany
Nama lengkapnya adalah Murrah bin Syarahil Al-Hamadzany dengan nama panggilan Abu Ismail, ia dijuluki dengan nama Murrah Ath Thayyib dan Murrah Al-Khaer.
7.      Tafsir Ibnu Katsir
Pengarang tafsir ini adalah Al-Hafizh Imaduddin Ismail bin Amr ibnu Katsir Al-Quraisyi Ad Dimasqy. Nama panggilannya adalah Abul Firda. Tafsir ini termasuk tafsir ma’tsur yang ia kutip dari pendapat ulama salaf, dengan membedakan pendapat yang shahih dan yang dha’if.
8.      Tafsir As Suyuthy
Pengarang tafsir ini adalah Al-Imam Al Hajjaj Ats Tsiqah Jalaluddin As Suyuthy, pengarang beberapa kitab yang terkenal.[6]

E.     Diantara kitab tafsir yang memuat tentang tafsir bil ma’tsur yakni :
a.       Tafsir Jami’ul Bayan ( Ibnu Jarir Ath Thabary)
b.      Tafsir Al Bustan (Abul Laits as Samarqandy)
c.       Tafsir Baqy Makhlad
d.      Tafsir Ma’limut Tanzil (Al Baghawy)
e.       Tafsir Al– Qur- anul ‘Adhim ( Al Hafidh ibnu Katsir)
f.       Tafsir Asbabun Nuzul (Alwahidy)
g.      Tafsir An Naskh wal mansukh (Abu Ja’far An Nahas)
h.      Tafsir Ad Durrul Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur (As Suyuthy)
i.        Al jawahir al – Hassan fi tafsir al-qur’an (Abdurrahman Atsa’libi)

 

















KESIMPULAN

Dari berbagal ulasan, komentar, analisis baik dari banyak ahli maupun dari nash sendiri dapat diberi kesimpulan bahwa tafsir bil ma’tsur pada hakekatnya merupakan tafsir Alquran dengan Alquran sendiri, atau dengan Sunah Nabi, atau dengan perkataan sahabat, atau dengan tabi’in. Contoh-contoh penerapannya banyak terdapat dalam kitab-kitab tafsir terutama yang memaki metode tafsir bil ma’tsur. Nilai dan keandalan tafsir ini haruslah diterima oleh si mufassir terutama tafsir Alquran dengan Alquran dan tafsir Alquran dengan Sunah. Ma’tsur dari Nabi, atau sahabat, atau tabi’in haruslah diteliti dan dicermati secara ketat agar si mufassir terhindar dari riwayat-riwayat yang kurang kuat atau israiliyat dalam menafsirkan Alquran.
















DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddieqy Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran /Tafsir.(Jakarta:Bulan Bintang, 1980).
Al-‘Aridi  Ali Hasan, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj.Ahmad Akrom (Jakarta: PT. Raja Grafindo persada, 1994
Shihab, M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang, Lentera hati 2013)
Dra. H. St. Amanah, Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir,( Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1993), cet. 1


[1] Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran /Tafsir.(Jakarta:Bulan Bintang, 1980). 227
[2] ibid 226-236.
[3] Ali Hasan Al-‘Aridi, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj.Ahmad Akrom (Jakarta: PT. Raja Grafindo persada, 1994). 42
[4] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang, Lentera hati 2013) 349-351
[5] Ibid 351-354
[6] Dra. H. St. Amanah, Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir,( Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1993), cet. 1, h. 348-353

No comments:

Post a Comment